Beranda | Artikel
Larangan Mencari-Cari Kesalahan, Berburuk Sangka dan Rakus
Rabu, 16 Januari 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Larangan Mencari-Cari Kesalahan, Berburuk Sangka dan Rakus merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. dalam pembahasan Kitab Raudhatul Uqala wa Nuzhatul Fudhala (tamannya orang-orang yang berakal dan tamasyanya orang-orang yang mempunyai keutamaan) karya Abu Hatim Muhammad ibnu Hibban al-Busty Rahimahullah. Kajian ini disampaikan pada 11 Rabbi’ul Tsani 1440 H / 19 Desember 2018 M.

Download mp3 kajian sebelumnya: Anjuran Mengunjungi Teman-Teman Yang Shalih

Larangan Mencari-Cari kesalahan (Tajassus)

Tajassus adalah mencari-cari kesalahan. Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya- ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Jauhilah persangkaan, karena sesungguhnya persangkaan itu berita yang paling dusta. Dan janganlah kamu melakukan tahassus, tajassus, saling hasad, saling membelakangi, dan saling benci. Jadilah kalian bersaudara, wahai para hamba Allah!”. (HR. Al-Bukhari, no. 6064)”

Makna tajassus dan tahassus artinya jangan kalian mencari-cari aib manusia dan jangan kalian mencari-carinya. Dimana at-Tahassus  dari kata Hawass (panca indra).

Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan bahwa tajassus itu artinya mencari aib seseorang. Sedangkan tahassus itu artinya mendengar obrolan suatu kaum. Ada yang mengatakan tajassus itu artinya mencari-cari perkara yang batin dan biasanya bahwa tajassus itu digunakan untuk mencari-cari keburukan. Sementara tahassus itu artinya mencari-cari sesuatu yang terlihat oleh mata atau telinga. Dan ini yang ditarjih oleh Imam al-Qurtubi Rahimahullah.

Jangan kalian saling membenci dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Kewajiban Orang Berakal

Kata Imam Ibnu Hibban, penulis kitab ini, kewajiban orang yang berakal adalah berusaha untuk menyelamatkan diri dengan cara tidak tajassus (mencari-cari aib manusia). Hendaknya dia lebih menyibukkan diri memperbaiki aib ada pada dirinya. Karena orang orang yang menyibukkan diri memikirkan dan memperbaiki aib dirinya sendiri, maka badannya juga akan istirahat, hatinya pun juga tidak akan lelah.

Berbeda kalau kita mencari-cari aib orang, memikirkan aib orang, pasti hati kita juga lelah, badan kita juga lelah. Hati selalu panas, selalu kesal dan yang lainnya. Setiap kali ia mengetahui aib yang ada pada dirinya, maka akan menjadi hina apa yang ia lihat dari saudaranya. Artinya kalau misalnya dia selalu memikirkan aib dirinya saja, ketika ia melihat aib orang lain, ia merasa bahwa aibnya lebih banyak dari orang lain. Sehingga akhirnya ia menjadi hamba Allah yang tawadhu, yang tidak sombong, yang tidak merasa ujub dengan banyaknya amal. Berbeda dengan orang yang selalu memikirkan aib orang lain. Dicarinya aib orang lain, sehingga akhirnya hatinya selalu dengki kepadanya, hatinya selalu kesal kepadanya. Sehingga akhirnya hatinya pun juga tidak bersih.

Sesungguhnya orang yang  menyibukkan diri mencari-cari aib manusia dan dia tidak mencari-cari aib dirinya, menyebabkan dia tidak akan bisa mengingat aib dirinya sendiri. Karena hatinya sudah tersibukkan bukan untuk memikirkan aib orang lain tersebut. Maka kalau sudah seperti ini, hatinya akan buta, badannya juga akan lelah.

Manusia yang yang paling lemah adalah orang yang suka mencaci-maki dan mencela manusia dengan apa yang ada pada mereka. Dan yang lebih lemah lagi yaitu orang yang mencaci mereka dengan apa yang ada pada dirinya. Dan orang yang suka mencaci manusia, balasannya biasanya orang pun akan mencaci dirinya. Dalam kitab Al-Fawaid halaman 58, Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Manusia yang paling merugi, yaitu orang yang sibuk dari berdzikir kepada Allah karena hanya sebatas memikirkan dirinya sendiri.” Artinya orang ini hanya memikirkan kesenangan dirinya, kepentingan dirinya, sehingga akhirnya ia lupa dari kepentingan Allah, dari melaksanakan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kata beliau, “Dan yang lebih merugi lagi adalah orang yang sibuk memikirkan aib orang lain sehingga akhirnya ia lupa untuk memperbaiki dirinya sendiri. Tajassus termasuk salah satu dari pada cabang-cabang kemunafikan. Sebagaimana berbaik sangka itu termasuk cabang-cabang keimanan.”

Orang yang berakal akan berbaik sangka kepada saudara-saudaranya sesama muslim yang bertaqwa. Sebagaimana orang yang bodoh itu selalu berburuk sangka kepada orang lain. Dan ia tidak pernah berpikir akibat buruk daripada su’udzan-nya itu.

Jenis-Jenis Su’udzan (Buruk Sangka)

Maka dari itulah, su’udzan (berburuk sangka) pada asalnya tidak baik. Walaupun sebetulnya su’udzon terkadang baik, terkadang diperbolehkan. Makanya Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk sangka itu dosa…” (QS. Al-Hujurat[49]: 12)

Berarti ada sebagian lagi yang tidak dosa. Oleh karena itulah al-Imam Ibnu Hibban berkata bahwa  berburuk sangka itu ada dua macam.

Pertama, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun su’udzan yang dilarang adalah berburuk sangka kepada kaum muslimin secara umum. Seperti ini dilarang, apalagi kepada orang yang bertaqwa, yang dia MasyaAllah senantiasa bertakwa kepada Allah, takut kepada Allah. Orang seperti ini tidak boleh kita su’udzan dulu.

Keduamustahab (disukai). Yaitu su’udzan kepada orang yang ada permusuhan dengan kita atau dia memusuhi kita baik dalam agama maupun dalam dunia. Karena khawatir kalau orang ini akan berbuat sesuatu pada dirinya. Maka disaat itu dia harus berburuk sangka agar dia selamat dari makar dia. Orang yang benci kepada kita, dia ingin mencelakakan diri kita. Maka disaat itu, tidak masalah kita su’udzan dengan dia.

Makanya su’udzan dalam perkara yang diperbolehkan tidak masalah. Kalau misalnya kita su’udzan kepada orang yang tidak bertakwa karena ia suka berbuat dosa, suka berzina, suka mabuk-mabukan, maka orang yang seperti ini kita su’udzan tidak masalah.

Kalau misalnya kita Subang pada orang yang tidak bertakwa karena ia suka berbuat dosa suka berzina suka mabuk-mabukan orang yang seperti ini keras hutan nggak masalah Kalau mau Barina tulang akhlak

Kewajiban orang yang berakal itu harus berbeda dengan orang secara umum. Yaitu dalam akhlak, perbuatan, dengan cara meninggalkan tajassus. Tidak perlu kita mencari-cari aib orang lain. Terkadang ketika hati kita dengki kepada seseorang, disitulah sulit sekali kita untuk meninggalkan tajassus. Kedengkian itu menyebabkan kita gembira dengan kesalahan yang menimpa teman atau saudara yang kita merasa dengki kepadanya.

Berbeda orang yang hatinya bersih dari dengki. Jika dia mendengar saudaranya jatuh kepada kesalahannya, justru ia sedih. Dia akan berusaha untuk menutupi aibnya. Sementara ketika hati kita dengki, maka kita akan sampaikan dalam pembicaraan kita, didalam ceramah kita bahkan.

Contoh Husnudzon (Prasangka Baik)

Suatu ketika istri Talhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf berkata kepadanya, “Wahai suamiku, aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih buruk daripada teman-temanmu itu.” Kata suaminya, “Kenapa begitu? Kamu tidak boleh berkata seperti itu terhadap mereka. Memang keburukan mereka itu apa?” Istrinya berkata, “Sudah jelas kok keburukan mereka.” Suaminya berkata, “Apa itu?” Istrinya berkata, “Teman-temanmu itu, kalau kamu lagi enak, lagi senang, lagi banyak rezeki, mereka datang sama kamu. Tapi ketika kamu susah mereka malah meninggalkan kamu. Itu kan berarti teman-teman kamu buruk sekali.” Suaminya berkata, “Justru itu kebaikan akhlak mereka.” Istrinya berkata, “Kok seperti itu akhlak yang baik?” Suaminya berkata, “Disaat kita senang, kita dapat banyak rezeki mereka datang, itu Alhamdulillah. Berarti kita mempunya kemampuan untuk menghormati dan menjamu mereka. Ketika kita susah, mereka tahu bahwa kita tidak bisa menjamu mereka dan mereka tidak mau menyusahkan kita.”

Masya Allah, inilah contoh daripada husnudzon kepada teman-teman kita.

Anjuran Untuk Menjauhi Sifat Rakus

Orang yang berakal tidak layak mempunyai sifat rakus. Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَيَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ

Anak Adam akan menua, namun ia masih tetap berjiwa muda dalam dua hal, yaitu; rakus terhadap harta kekayaan dan umur yang panjang.” (HR. Ibnu Majah)

Simak pada menit ke – 19:00

Simak Penjelasan Lengkap dan Download Kajian Tentang Larangan Mencari-Cari Kesalahan, Berburuk Sangka dan Rakus – Kitab Raudhatul Uqala wa Nuzhatul Fudhala


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46421-larangan-mencari-cari-kesalahan-berburuk-sangka-dan-rakus/